SAAT HATI BICARA (4)

SAAT HATI BICARA 

Part 04
(Tien Kumalasari)

 Dita menunggu kakaknya sampai mereka memasuki rumah.

"mBak tadi sama siapa?"

"Itu...."

"Laki2 ya.. aku melihatnya sekilas, tadi kan sama mbak Laras? Itu siapanya mbak Laras?"

Aduuuuh..crewet..crewettt..creweeet.... batin Maruti.

"Mana ibu? " Maruti mengalihkan pembicaraan. Ia tak melihat ibunya berbaring atau duduk2 disofa didepan televisi.

"Dikamar..tadi katanya pusing .. tapi sudah minum obat."

"Pusing?" Maruti menyahut dengan perasaan khawatir. Bergegas ia memasuki kamar ibunya, dan melihat ibunya terbaring sambil memejamkan mata.

"Ibu.." pelan Maruti mendekati dan memegang tangan ibunya.

Bu Tarjo membuka mata dan tersenyum lelah.

"Kamu sudah pulang? Tadi sama Laras ya?"

"Ya bu, Laras minta ma'af tidak bisa mampir. Waktu berangkat tadi tergesa gesa dan pulangnya tiba2 ada keperluan."

"Jadi mbak tadi diantar siapa?" Dita tiba2 saja menyambar. Ia seperti melihat seseorang yang sosoknya seperti dikenalnya.

"Itu sepupunya Laras. Kamu tadi jadi belanja?"

"Jadi, tuh.. periksa dibelakang, ada yang tercecer tidak."

"Ibu sakit? Pusing ya? Kita ke dokter ?" Maruti kembali menghadapi ibunya.

"Oh.. ke dokter segala.. ibu cuma pusing, lihat.. sudah nggak apa2," sahut bu Tarjo sambil bangkit duduk. Maruti memegang kening ibunya. Biasa saja, tapi ibunya memang tampak pucat.

"Ibu kalau sakit bilang saja sakit, jangan ditahan tahan, nanti kalau sudah terlanjur semakin susah mengobatinya."

"Ya, ibu tau.. sudah.. ayo kita keluar.. Dita sudah menyiapkan teh hangat untuk kita bukan?"

"Ya.. sudah... Eh.. mbak.. tadi itu......"

"Dita.. bantu ibu turun, mbak mau ganti pakaian dulu, potong Maruti karena tau bahwa Dita ingin menanyakan siapa tadi yang mengantarnya, dan ia belum menjawabnya dengan jelas. Maruti masih terganggu dengan kata2 Panji bahwa kemarin hampir menabrak seorang gadis, dan mirip dirinya. Ah.. Dita kah?

*

Hari sudah malam, tapi Maruti belum bisa memejamkan matanya. Besok kebetulan libur, tidak ada pesanan makanan. Tapi Maruti berfikir, kalau ibunya sakit, siapa yang akan memasak untuk memenuhi pesanan2 itu? Maruti dan Dita sudah belajar tapi berkali kali ibunya bilang, masakan itu, biar sama bumbunya, tapi kalau beda yang menanganinya juga akan beda rasanya. Maruti menghela nafas. Ia suka memasak, tapi untuk dirinya sendiri dan ibu serta Dita adiknya. Kalau memasak dalam porsi besar.. wadhuh..

Sekarang Maruti benar2 berfikir tentang keinginannya mencari pekerjaan. Ia tak harus bergantung pada ibunya yang sudah semakin tua. Diam2 Maruti mengusap setitik air matanya yang tiba2 meleleh. Berpuluh tahun ibunya berkutat mencari uang hanya untuk dirinya dan Dita. Pasti kekuatan itu ada batasnya. Ia melihat ibunya tampak lelah tapi dipaksakannya. Tapi pekerjaan apa yang bisa didapatnya dengan pendidikannya yang tidak seberapa tinggi?

"mBak menangis ?" Maruti kembali mengusap air matanya, untuk menyembunyikan tangisnya. Ia tak sadar Dita sudah ada didalam kamarnya.

"Kamu belum tidur ?"

"Aku nggak bisa tidur,"  Dita duduk ditepi pembaringan, disebelah kakaknya.

"Kenapa?"

"Kalau ibu sakit, siapa yang akan menggantikan menangani pekerjaan masak memasak itu?"

Maruti memandangi wajah adiknya. Rupanya si kecil centil yang biasanya kekanak kanakan itu juga memikirkan keadaan ibunya.

"mBak mau mencari pekerjaan."

"Aku juga..."

"Hussyy.. kamu harus menjaga ibu...," sahut Maruti yang kemudian sadar bahwa pekerjaan itu belum didapatkannya.

"Mbak mau kerja apa?"

"Entahlah..."

Maruti teringat pertanyaan Panji sore tadi. Ah.. alangkah malu meminta pekerjaan sama dia. Bukan.. bukan ke dia ia harus meminta tolong. Memalukan.. untuk apa karyawan yang hanya lulusan SLTA? Lha kenapa juga ia harus malu? Bukankah ia membutuhkannya? Tiba2 Maruti terbayang kembali senyum Panji yang sempat membuatnya gugup. Ya ampuun..  Maruti benci dengn perasaannya.

"Dita, sudah.. kamu tidur saja, ini sudah malam," kata Maruti sambil menepuk bahu adiknya. Dita mengangguk.. dan berjalan keluar dari kamar kakaknya.

**

Pagi hari itu Laras terkejut karena tiba2 Panji datang kerumahnya. Setelah berbasa basi sama ibunya, Panji segera menarik Laras keteras, seperti ada sesuatu yang ingin dibicarakanya.

"Ada apa sih?"

"Laras, benarkah Maruti memerlukan pekerjaan?" tiba2 kata Panji.

"Ya ampuuuun... aku yang mau ngelamar duluan, Maruti yang lebih diperhatikan," sungut Laras tapi tanpa perasaan kesal.

Panji tersenyum.

"Kamu itu kan masih belum begitu memerlukan. Lanjutin dulu kuliah kamu baru memikirkan pekerjaan."

"Nggak mas, aku benar2 nggak ingin kuliah. Kasihan ibu, tabungan kami sudah menipis.. aku harus berhenti. Nggak tau nanti kalau aku sudah punya uang sendiri kemudian ingin melanjutkan lagi."

"Baiklah, sekarang kita bicara dulu tentang Maruti, oke?"

"Oke, mas mau kasih dia pekerjaan apa?O.. aku tau.. diam2 mas tertarik sama dia kan?"

"Laras, jangan ngelantur... kemarin ada teman yang membutuhkan karyawan. Cuma costumer servis sih.. tapi dia mau lulusan SLTA."

"Oh.. kirain di kantor mas Panji..."

"Belum sekarang, nanti dia akan bekerja sama kamu, kalau aku sudah berhasil membuka cabang lagi seperti yang aku ketakan kemarin."

"Wouw... serius nih? Asyiik.. ayo kita kesana sekarang."

Panji tersenyum senang.

*

Dita terkejut ketika sedang duduk diteras rumah, lalu ada mubil berhenti didepan pagar rumahnya. Lagi2 mobil itu?  Kok aku jadi terobsesi dengan mobil orang itu sih. Pikir Dita. Dia sedang melongak longok, benarkah itu tamu yang mau masuk kerumah.. atau cuma mau parkir.. atau...

"Siapa itu?" tiba2 Maruti sudah ada disampingnya, sama2 memandangi mobil yang berhenti didepan.

"Itu mas Panji.?"

"mBak kenal?"

Tak lama seseorang keluar dari mobil itu.

"Laras...?" Maruti keluar rumah dan menyambutnya. Dita bersungut dan masuk kebelakang. Ternyata mobil mbak Laras sama. Lhah.. kok mobil itu lagi yang dipikirkannya?

Maruti tertegun ketika ternyata Laras tidak sendiri. Sorang laki2 muda bertubuh tegap mengikutinya dari belakang. Astagaa... kenapa juga dada Maruti menjadi berdegup kencang? Dia lagi? Senyum2 lagi... dan ...

"Heii... itu mas Panji... jangan melongo.." Laras menepuk pundaknya keras. Maruti meringis kesakitan.

"Sakit, tau..!!"

Laras terkekeh.

"Ayo.. sambut tamumu.."

"Hallo Maruti.." justru Panji yang menyapa duluan..

"Selamat datang mas...silahkan.." Maruti mulai bisa menata hatinya. Ia menoleh kebelakang, tak tampak Dita disana.

Maruti tak tau, rupanya Dita berdiri dibalik pintu, mengintip tamu2 kakaknya dengan dada berdebar. Dia... dia... bukankah dia? Bisik hatinya.

*

Komentar

Postingan Populer