SAAT HATI BICARA (8)

SAAT HATI BICARA

Part 08
(Tien Kumalasari)

Maruti mendengar nama Panji disebut, dan dokter cantik.. apakah seperti yang dipikirkannya?

"mBak, ayo ikut kedalam," kata Dita tiba2.. Maruti terkejut, Dita dan ibunya sudah ada didalam ruangan sementara dirinya masih bengong diluar pintu. Bergegas ia mengikuti masuk, dan mengibaskan pikiran yang tiba2 mengganggu benaknya.

Dihadapan dokter cantik itu Maruti melaporkan semua keluhan ibunya. Dokter Santi mempersilahkan bu Tarjo berbaring ditempat pemeriksaan.

Maruti dan Dita menunggu .. hati mereka berdebar tidak karuan.

Tak lama dokter Santi kembali duduk.

"Hanya ganguan lambung. Saya buatkan resepnya, nanti ditebus di apotik ya?"

"Tidak berbahaya kan dokter?" tanya Dita khawatir.

"Nggak, makan hati2 ya, jangan yang asam2, jangan terlalu banyak yang mengandung lemak, santan apalagi," kata dokter Santi sambil menuliskan resepnya.

"Kadang2 seperti seseg disini dokter," sambung bu Tarjo sambil menunjuk kearah dadanya.

"Ya bu, kalau asam lambung naik, bisa terasa sesak disini, nanti kalau sudah baik pasti enggak lagi ya bu."

"Terimakasih dokter," kata mereka bertiga.

"Ini puteri2 ibu? Gadis2 yang baik, pasti sangat menyayangi ibu ya?"

"Ya dokter, kami hanya hidup bertiga, ayahnya sudah tak ada."

"Oh, begitu, pantas mereka sangat menjaga ibunya. Ini resepnya mbak..semoga lekas sembuh ya bu."

Dokter itu sangat ramah. Mereka keluar dari ruang periksa dan langsung menebus obatnya.

*

"Bagaimana sekarang rasanya bu, masih mual?" tanya Maruti sebelum berangkat kerja pagi itu.

"Lebih baik.. ini semua diminum sebelum makan ya?"

"Ya bu, kalau sa'atnya minum obat, biar Dita menyiapkannya. Ya Dit.. jangan biarkan ibu mengambil obat sendiri, nanti keliru mana yang sebelum makan dan mana yang sesudah makan."

"Iya.. iya.. aku tau."

"Kalau begitu minumkan dulu yang sebelum makan, kira2 setengah jam lagi, ajak ibu makan, aku sudah masak pagi tadi, untuk sarapan dan makan siang."

"Ya.. siap komandan.." jawab Dita sambil mengangkat sebelah tangannya seperti militer menghormati atasannya.

Maruti tersenyum, lalu mengambil hand tasnya, kemudian mencium tangan ibunya.

"Ruti berangkat dulu ya bu, segera sehat.."

Bu Tarjo mengelus tangan anaknya, dan Maruti mencium pipi ibunya. Sepeda motor on line yang dipesannya sudah menunggu, Maruti bergegas menghampiri.

"Kasihan kakakmu, harus bekerja untuk kita," gumam bu Tarjo lirih.

"Ibu jangan berkata begitu, mbak Ruti itu masih muda, gak apa2 donk bekerja, daripada ibu yang harus bekerja kan lebih baik anak2nya. Dita juga kalau boleh juga pengin bekerja, tapi kalau Dita juga bekerja, ibu sama siapa?"

Bu Tarjo menghela nafas panjang. Bagaimanapun ia harus sadar bahwa usianya sudah semakin tua. Tapi ia bersyukur punya anak2 yang penuh perhatian dan saling mengasihi dirumah itu.

"Bu, ini obatnya yang harus diminum sekarang, setelah itu baru ibu makan pagi," seru Dita sambil membawa nampan kecil berisi munuman dan obat2 yang disiapkannya.

"Lha itu kamu bawa apa?" tanya bu Tarjo karena melihat Dita juga membawa sebuah buku kecil ditangannya.

"Oh.. ini buku catatan Dita, tadi tertinggal disitu, mau Dita simpan dulu."

"Buku catatan apa?"

"Catatan Dita sendiri kok bu. Buku harian. Sudah, ibu minum obatnya dulu .."

*

 "Kemarin ibu ketemu dokter Santi," kata bu Anjar seakan kembali memancing pembicaraan tentang perjodohan yang diinginkannya. Hanya kalau pagi mereka bisa bicara banyak, karena akhir2 ini Panji sering pulang malam. Sepertinya ia memang menghindari berbicara dengan ibunya. Ia tau pasti itu lagi yang dibicarakannya. Tapi pagi harinya ia seringkli tak bisa menghindar. Hanya saja ia punya alasan untuk segera pergi dari rumah, yaitu harus segera tiba dikantor. Seperti pagi itu.

"Panji, kamu tidak mendengar kata2 ibu?"

Panji sudah menenteng tas kerjanya, tapi berhenti sebentar karena ibunya menegurnya.

"Apa bu?"

"Kemarin ibu bertemu dokter Santi."

"Oh, dimana?"

"Ya diklinik lah, kan kemarin waktunya ibu kontrol. Kamu sekarang kurang perhatian sama ibu," keluh bu Anjar.

"Bukan begitu bu, akhir2 ini banyak pekerjaan yang harus Panji lakukan. Ma'af ya bu, lalu bagaimana keadaan kesehatan ibu?"

"Tensi ibu sudah normal, gula darah, kolesterol baik. Tapi ibu masih harus meminum obatnya."

"Iya bu, syukurlah kalau semua baik2 saja. Ibu harus menurut apa kata dokter, dan ta'at minum obatnya."

"Dokter Santi bertanya, mengapa bukan kamu yang mengantarkan ibu."

"Ibu kan tau, Panji selalu pulang malam."

"Aku juga berkata begitu. Tapi sekali2 antarkan ibu kontrol, supaya kamu bisa bertemu dengan dia."

Panji menghela nafas, diciumnya tangan ibunya untuk berpamitan.

"Panji berangkat dulu ya bu."

"Kamu itu lho le, setiap kali diajak bicara masalah itu kok mesti buru2 pergi."

"Nanti Panji terlambat bu, ada meeting pagi2 dengan staf dikantor."

Panji melangkah pergi, meninggalkan ibunya yang tampak kecewa .

*

Maruti sedang beristirahat siang itu, tapi ia menolak diajak temannya ke kantin. Ia harus berhemat. Tadi Dita membawakan bekal yang masih disimpannya, dan belum sempat dimakannya. Ia hampir mengambil bekal itu ketika tiba2 Agus muncul dan menghampirinya.

"Maruti, mau temani aku makan?"

Maruti terkejut. Makan dengan bos nya? Alangkah sungkan .. tapi bagaimana menolaknya?

"Ayo.. sebentar saja, dan cuma didekat situ."

"Oh.. tapi....."

"Ayolah..."

Itu seperti memaksa, dan mau tak mau Maruti kemudian mengikutinya. Beberapa karyawan melihat kearah mereka, membuat Maruti merasa risih. Mengapa juga pak bos ini pakai ngajakin makan segala.

*

Dirumah makan itu Maruti lebih banyak diam.Sungguh ia merasa rikuh karena menemani bos nya makan siang, sementara dia itu karyawan yang masih baru.

"Mengapa diam saja Maruti? Kamu nggak suka ya, makan sama aku?"

"Bukan pak.. bukan karena nggak suka, saya sungkan sama karyawan lain. Mengapa bapak mengajak saya?"

"Kamu salah Ruti, hampir semua karyawan pernah aku ajak makan bersama."

Maruti memandangi Agus seakan tak percaya.

"Ya, itu benar.. aku akrab dengan mereka, supaya mereka menganggap kita adalah keluarga kalau diluar kantor. Kadang2 hanya berdua, kadang2 juga beramai ramai."

Maruti mengangguk angguk.

"Aku suka banyak teman, karena aku orang yang kesepian."

Sekarang Maruti mengentikan suapan yang hampir masuk ke mulutnya. Kata2 "kesepian" itu membuatnya heran. Bukankah ia punya keluarga? Punya anak kecil semanis dan se lucu Sasa?

"Isteriku meninggalkan aku, karena kami ternyata tidak sejalan, lanjut Agus, dan ini lebih membuat Maruti terkejut.

"Kami baru punya anak satu, Sasa, tapi isteriku berkeras ingin meninggalkan kami. Mungkin karena aku sibuk, dan dia juga sangat sibuk. Hampir tiap hari kami berselisih karena sering tidak bisa menyatukan waktu luang. Dia...."

Kata2 Agus terputus ketika tiba2 terdengar teriakan seorang anak kecil.

"Papaaaaaa..."

Keduanya menoleh kearah datangnya suara, Maruti mengenal anak itu, Sasa.. yang pernah sekali menjemput ayahnya pada suatu sore.

"Hallo... sayang... sama siapa?" tegur Agus sambil berdiri lalu mengangkat tubuh Sasa tinggi2. Sasa terkekeh senang.

"Ada mama..."

Sasa menunjuk kearah depan rumah makan itu, dan seorang wanita cantik muncul dari sana, diikuti oleh suster yang kemarin juga mengantar Sasa.

Maruti hampir tersedak melihat wanita itu.

"Dokter... Santi ?" bisiknya lirih.

*

besok lagi ya

Komentar

Postingan Populer