SAAT HATI BICARA (9)

SAAT HATI BICARA

Part 09
(Tien Kumalasari)

Maruti terpaku ditempatnya duduk. Sama sekali ia tak menyangka bahwa dokter Santi adalah bekas isteri Agus. Jadi bayangan tentang Panji yang dicalonkannya dengan dokter Santi sedikit kabur. Ia juga belum yakin ketika berada diklinik itu. Ia hanya mendengar orang2 berbicara dan hatinyapun juga berbicara sendiri. Barangkali ia salah.

"Kamu jemput Sasa?" tiba2 Agus menyapa wanita cantik itu setelah tiba didepannya.

"Ya, aku kangen, kebetulan ada waktu..,"

"Oh, syukurlah... masih punya rasa kangen..."

"Jangan mengejekku mas, kamu kan tau seperti apa pekerjaanku.."

"Oh ya, kenalkan, ini Maruti.." tiba2 Agus memperkenalkan dirinya, membuat Maruti yang tadinya menunduk kemudian mendongakkan kepalanya. Bertatapan dengan dokter Santi.

"Lho... ini kan... ini kan..putrinya... ibu..mm.. aku ingat.. ibu Tarjo bukan?" teriak dokter Santi.

"Apa kabar dokter," Maruti mengulurkan tangannya..

"Baik, bagaimana ibu ?"

"Sudah lebih baik dokter, terimakasih banyak."

"Rupanya sudah saling kenal?" sela Agus.

"Kemarin dia ke dokter mengantar ibunya periksa. Nggak nyangka.. ternyata dia adalah...."

"Saya karyawannya pak Agus," kata Maruti buru2, takut apabila dokter Santi menyangka ada hubungan khusus antara dirinya dan Agus.

"Ya, dia customer servis di kantorku."

"Oh.. baguslah.."

"Mamaaaa.... aku mau es krim..," teriak Sasa membuat dokter Santi kemudian berdiri menghampiri Sasa yang sedari tadi hanya berlarian kesana kemari diikuti oleh susternya.

"Oke sayang, ayo kita pesan kesukaanmu."

*

 Dita sedang menulis sesuatu di buku kecilnya, ketika ibunya tiba2 menghampiri.

"Dita, obat yang harus diminum siang hari kan hanya satu macam?"

Dita terkejut, kemudian menutup buku kecilnya.

"Iya bu, tapi itu diminum sesudah makan. Ibu mau makan sekarang?"

"Ya, nanti setelah kamu selesai menulis nulis."

"Oh, nggak penting bu, hanya catatan kecil, orang menyebutnya buku harian."

"Apa saja yang kamu catat disitu?"

"Banyak hal, semua kejadian, semua yang Dita rasakan... Oke ibu, Dita sudah siapkan makan siang dimeja, ayo kita makan."

"Apa yang kamu rasakan hari ini?" tanya bu Tarjo menggoda anak gadisnya.

Dita tertawa.

"Apa kamu juga mencatat tentang cinta yang pernah kamu tanyakan pada ibu?"

"Ibu ini ada2 saja, sudah ayo kita makan, Dita simpan dulu buku Dita ya."

Dita berlalu, dan bu Tarjo siap duduk dimeja makan. Ia agak heran karena akhir2 ini Dita sangat rajin menulis. Diam2 bu Tarjo ingin sekali tau apa saja yang ditulis oleh anaknya.

"Ayo bu, ini sayur bening, ayam goreng.. yang tadi disiapkan mbak Ruti."

"Baiklah, tampaknya enak.."

"Makan yang banyak lho bu, supaya ibu cepat sehat."

"Iya, ibu sudah mulai doyan makan. Dokter cantik itu sangat baik, dan obatnya juga cocok untuk ibu." kata bu Tarjo sambil menyendokkan sayur kepiring yang telah diisi nasi oleh Dita.

"Besok kalau obatnya habis, kita kontrol lagi, untuk memastikan apakah ibu benar2 sehat atau masih harus minum obatnya."

"Baiklah."

*

 Penasaran dengan dugaan adanya dokter Santi yang janda, yang mungkin berhubungan dengan perjodohan yang ditawarkan ibunya Panji, membuat Maruti menelpon Laras siang itu sebelum dia pulang.

"Hallo.. ada apa? Belum pulang kamu?"

"Laras, aku ingin ngomong, tapi bukan disini. Aku kerumahmu sore ini, bisa?"

"Eit, ini aku lagi dijalan habis belanja. Baiklah, aku berada didekat kantormu, aku jemput kamu ya?"

"Wah, kebetulan kalau begitu, baiklah aku tunggu."

Limabelas menit sebelum waktunya pulang, tiba2 Laras sudah muncul dihadapannya. Maruti tersenyum senang.

"Sebentar lagi ya, duduklah dulu," kata Maruti sambul mempersilahkan Laras agar duduk didekatnya.

"Benar kamu sudah kerasan bekerja disini ?"

"Kerasanlah.. kan aku lagi butuh pekerjaan. Disini semua baik kok, aku senang."

"Aku ikut senang, tapi aku lebih senang kalau aku dan kamu bisa berada dalam satu kiantor. Semoga mas Panji segera berhasil membuka cabang baru, sehingga kita bisa bekerja bersama sama."

Maruti tak menjawab. Ia sibuk membenahi barang2nya, dan merapikan meja kerjanya karena sudah sa'atnya pulang.

Namun tiba2 Agus sudah ada didekatnya, membuat Maruti terkejut.

"Maruti, nanti pulang bareng saya ya? Sekaliyan menemani saya ke toko buku. Saya ingin membelikan buku gambar yang sesuai untuk Sasa, mana bisa saya memilihnya sendiri."

Maruti tercengang, mengapa harus dia yang ikut memilih buku2 untuk anaknya?

"Mau kan?" ulang Agus

 "Ma'af pak, tapi saya dijemput teman saya, itu dia."jawab Maruti sambil menunjuk kearah Laras.

"Oh.. teman kamu?"

"Laras, ini pak Agus temannya mas Panji, dan ini Laras, sepupunya mas Panji," Maruti memperkenalkan mereka.

Agus dan Laras bersalaman.

"Baiklah, kalau begitu besok saja beli bukunya, ma'af aku tidak tau. Oke, silahkan kalau mau pulang Ruti. Salam untuk Panji ya, Laras."

"Oh.. eh.. baiklah..," jawab Laras gugup.

*

Laras dan Maruti duduk berhadapan disebuah rumah makan. Maruti belum mengucapkan apapun tentang dokter Santi. Sesungguhnya ia ragu2, mungkin ia keliru hanya karena ibu2 setengah tua itu menyebut nama Pandji.

"Ruti, gila.. bosmu ganteng ya?" tiba2 Laras nyeletuk.

"Apa?"

"Bosmu itu... pak Agus.. ganteng lho, aku suka kumisnya." Lalu keduanya tertawa.

"Nggak nyangka kamu suka pria berkumis."

"Kamu.. nggak?"

"Nggak.. kamu itu ada2 saja."

"Syukurlah kalau enggak, jadi aku nggak punya saingan." kata Laras seenaknya.

Iya sih, Agus memang ganteng, tapi Maruti sama sekali nggak punya rasa tertarik. Menurutnya dia biasa saja. Ah, ini kan so'al selera.. lalu Maruti tersenyum senyum sendiri.

"Oh ya, kamu tadi bilang mau ngomong. Mau ngomng apa?"

"Oh.. itu.. aduh.. darimana enaknya aku harus mulai ya.. sebentar.. kemarin lusa kamu bilang bahwa mas Panji dijodohkan oleh ibunya..seorang dokter..  benar?"

"Ya, memang iya, sampai sekarang dia kalau ketemu aku bawaannya uring2an terus. Padahal aku kan nggak tau apa2."

"Kemarin, waktu  aku memeriksakan ibu ke klinik, kebetulan dokternya seorang perempuan. Cantik, namanya dokter Susanti. Sebelum aku masuk, seorang wanita setengah baya keluar dari ruangan itu. Ia menyebut nyebut nama Panji, dan bilang ingin mengambil dokter itu sebagai menantu, tapi dokter itu hanya tertawa. Diakah yang dicalonkan dengan mas Panji? Mungkin hanya namanya saja yang sama, entahlah."

"Siapa nama dokter itu, Susanti?"

"Ya, benarkah nama calon mas Panji itu Susanti?"

"Sayangnya aku tidak tau namanya, mas Panji juga nggak mengatakan siapa namanya."

"Kalau bener dokter itu, dia  seorang janda."

"Apa? Darimana kamu tau ?"

"Dan bekas suaminya adalah pak Agus.."

Laras tersedak karena sa'at itu sedang meneguk minumannya.

 *

Komentar

Postingan Populer